Wayang wong adalah salah satu jenis teater tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Lakon yang dipentaskan bersumber pada cerita-cerita wayang purwa (Mahabharata dan Ramayana).

Seni wayang wong Surakarta pertama kali berkembang di lingkungan Istana Mangkunegaran dan yang bisa menikmati kesenian ini hanyalah kalangan keluarga istana. Pementasannya pun juga dilakukan di dalam lingkungan tembok istana.

Konon, Pertunjukan wayang orang pertama kali digelar pada kurun waktu yang hampir sama di Keraton Yogyakarta dibawah penguasaan Sultan Hamengku Buwono I dan di Kadipaten Mangkunegaran Surakarta pada masa Adipati Mangkunegoro I. Berdasarkan penelitian Leyveld (1931), lakon pertama yang diciptakan Hamengku Buwono I adalah Gandawarya, sedangkan Mangkunegoro I mengambil lakon Wijanarka. Awal dari wayang orang ini diperkirakan muncul pada abad 18.

Seni wayang wong Surakarta ini menarik untuk disimak khususnya pada masa pemerintahan Mangkunegoro V- Mangkunegoro VI.  Hal ini dikarenakan  pada masa pemerintahan Mangkunegoro V – Mangkunegoro VI terjadi sebuah pergeseran kedudukan seni wayang wong dari sebuah kesenian yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan keluarga istana maupun para priyayi menjadi sebuah kesenian yang bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat Surakarta.

Penyebab pergeseran kedudukan seni wayang wong dari pertunjukan kaum elite menjadi pertunjukan bagi semua kalangan adalah keadaan keuangan Mangkunegaran yang mengalami kemerosotan dan kebijakan Mangkunegoro VI dalam upaya mengembalikan perekonomian Mangkunegaran.

Diawalai pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV, Istana Mangkunegaran mengalami masa kejayaan. Banyak didirikan perkebunan-perkebunan kopi dan tebu di wilayah Mangkunegaran serta pembangunan pabrik gula di Tasikmadu dan Colomadu. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini turut membawa Mangkunegoro IV dalam mengembangkan bidang kesenian. Terbukti dengan hasil seni sastranya yang terkenal yaitu serat Wedhatama.

Dalam seni tari Mangkunegoro IV menciptakan opera Langendriyan, fragmen-fragmen epos Ramayana dan Mahabharata, serta Beksan Wireng. Dalam dunia pewayangan menciptakan Kyai Sebet, yaitu wayang kulit pusaka Mangkunegaran dan pagelaran Wayang Madya.

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro V didukung oleh perekonomian yang kuat peninggalan dari Mangkunegoro IV, Mangkunegoro V bisa lebih fokus dalam mengembangkan dan menyempurnakan kesenian warisan dari Mangkunegoro IV terutama kesenian wayang wong. Pada masa inilah kesenian wayang wong mengalami masa kejayaannya. Hal ini terbukti ketika Mangkunegoro V mulai membuat standarisasi tata busana wayang wong dengan diilhami tata busana wayang purwa dan gambar Bima pada relief candi Sukuh.

Standarisasi busana ditunjukan dalam sebuah manuskrip yang berjudul “Pratelan Busananing Ringgit Tiyang”. Tidak hanya pada standarisasi tata busana, Mangkunegoro V juga menciptakan  naskah lakon dan pertunjukannya. Namun pada masa akhir pemerintahan Mangkunegoro V, mulai nampak tanda-tanda kemunduran seni wayang wong akibat dari keadaan ekonomi yang mulai merosot. Penyebabnya adalah perkebunan kopi yang dilanda penyakit dan munculnya komoditi gula bit di Eropa.

Pada masa Mangkunegoro VI, perekonomian Mangkunegaran benar-benar mengalami kemerosotan. Dari keadaan inilah kesenian wayang wong mulai tidak diperhatikan dan mulai memudar. Wajar hal ini terjadi karena Mangkunegoro VI lebih fokus dalam upaya perbaikan perekonomian Mangkunegaran. Beberapa kebijakan yang diambilnya berpengaruh juga pada kemunduran seni wayang wong, seperti kebijakan menyederhanakan berbagai kegiatan upacara dan pertunjukan kesenian (bahkan meniadakan pertunjukan wayang wong di dalam istana).

Dampak dari salah satu kebijakan ini adalah seni wayang wong tidak lagi dimonopoli oleh kalangan istana. Terjadi sebuah mobilitas budaya karena seni wayang wong yang semula merupakan kesenian elite istana menjadi kesenian rakyat. Hal ini dikarenakan para abdi dalem yang dulu bekerja sebagai pemain wayang wong yang kemudian diberhentikan oleh Mangkunegoro VI karena kebijakannya, mulai membentuk grup wayang wong di luar istana.

Seorang pengusaha Cina yang bernama Gan Kam yang pada masa akhir pemerintahan Mangkunegoro V sekitar tahun 1895 telah muncul sebagai cikal bakal grup wayang wong pertama yang pentas di luar tembok istana.

Gan Kam  menggelar pertunjukan wayang orang dengan panggung proscenium ala opera Barat di luar istana dengan menarik bayaran  bagi penontonnya. Sebelum tahun 1895 belum dikenal pertunjukan wayang orang dengan ditarik bayaran, baru mulai tahun tersebut komersialisasi pertunjukan wayang orang mulai berkembang. Terlepas dari motif ekonomi ala Gan Kam, ia  merupakan tokoh yang turut berperan dalam mengembangkan dan memperkenalkan lebih luas seni wayang wong pada masyarakat Surakarta.

Seni wayang wong Surakarta dulunya adalah kesenian elite keraton, namun kini telah berkembang dan menyatu dengan masyarakat. Warisan luhur seni Wayang Wong pada saat ini dapat anda saksikan di GWO (Gedung Wayang Orang) Sriwedari  Surakarta.

Semoga bermanfaat, terima kasih.
 

Silahkan baca juga referensi
  • Buku Wayang Wong Sriwedari, dari Seni Istana Manjadi Seni Komersial, karya Hersapandi, yang di dalamnya membahas pergeseran kedudukan kesenian wayang wong serta beberapa tipe gerakan para penari wayang wong. 
  • Buku Menjadi Jawa. Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta pada 1895-1998, karya Rustopo yang didalamnya membahas peranan Gan Kam dalam memperkenalkan lebih luas kesian wayang wong pada masyarakat Surakarta.
  • Manuskrip Pratelan Busananing Ringgit Tiyang, karya Prabu Prangwedono V, yang di dalamnya dijelaskan mengenai standarisasi tata busana para pemain wayang wong.