Sejarah Pemilu Di Indonesia | Pemilihan umum adalah pesta akbar demokrasi disuatu negeri. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, Indonesia telah memiliki sejarah panjang mengenai Pemilihan Umum. Lika-liku politik dan kondisi bangsa telah menjadi faktor yang mewarnai jalannya sejarah pemilu di Indonesia. Bagaimana kronologi sejarah pemilu di indonesia? Simak ulasan artikel di bawah ini.

Sejarah Pemilihan Umum 1955.

Pemilu Pertama dalam sejarah bangsa Indonesia adalah Pemilihan Umum yang diselenggarakan di tahun 1955. Sebenarnya Pemilu yang pertama di Indonesia akan digelar pada awal tahun 1946 sesuai Maklumat Mohammad Hatta No. X tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran berupa pembentukan partai politik. Isi Maklumat X menyebutkan bahwa, Pemilihan Umum guna memilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan diselenggarakan bulan Januari 1946.

Maklumat X hanya menyebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan pada Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada pemilihan untuk anggota Konstituante. Berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, Pemilu 1955 dilakukan dua kali yaitu
  1. Pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR.
  2.  Pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Boleh dikatakan telah terjadi penyimpangan dalam penyelenggaran Pemilu 1955. Penyimpangan tersebut yaitu tidak sesuainya pelaksaan pemilu dengan apa yang diamanatkan oleh maklumat X.

Ada dua penyebab, Mengapa Pemilu pertama tidak diselenggarakan di Januari 1946 sebagaimana amanat Maklumat 3 Nopember 1945.
  1. Pemerintahan yang baru belum memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Pemilu, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu.
  2. Kondisi keamanan negara belum stabil. Ketidakstabilan tersebut diakibatkan adanya konflik internal antar kekuatan politik dan disaat yang sama terdapat gangguan keamanan dari luar.
Sebetulnya secara politik, pemerintah telah memiliki kemauan yang kuat untuk melaksanakan Pemilu. Kemauan politik untuk melaksanakan pemilu pada saat itu terindikasi dari dibentuknya UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilihan Umum.

Dalam Undang-Undang No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat [tidak langsung]. Sifat pemilihan tidak langsung didasarkan kepada alasan bahwa sebagian besar warga Indonesia pada waktu itu belum mampu membaca (buta huruf). Sehingga kalau pemilihan diselenggarakan secara langsung, maka ditakutkan akan banyak terjadi distorsi.

Undang-Undang Pemilu dibahas kembali di paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir (Anggota Partai Masyumi) menjadi Perdana Menteri. Pemerintah memutuskan menjadikan Pemilu sebagai program kabinet. Pembahasan Undang-Undang Pemilu dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian diteruskan ke parlemen. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat.

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilihan Umum diteruskan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo (Partai Masyumi). Pemerintah berusaha menyelenggarakan Pemilu dikarenakan adanya  pasal 57 UUDS 1950 yang  menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Namun pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menyelesaikan pembahasan undang-undang Pemilu.

Undang-Undang Pemilihan Umum selesai dibahas oleh parlemen di era pemerintahan Kabinet Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Sejak saat itu, maka telah lahir UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu yang menjadi payung hukum pemilihan umum tahun 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat [tidak langsung] bagi anggota DPR sudah tidak berlaku.

Adapun hasil mengenai pemilu 1955, silahkan lihat tabel dibawah ini:

Tabel. 1.
  Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Anggota DPR.


No.
Partai/Nama Daftar
Suara
%
Kursi
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.091.160
2,89
8
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
1.003.326
2,66
8
7.
Partai Katolik
770.740
2,04
6
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
1,99
5
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
541.306
1,43
4
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
483.014
1,28
4
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
242.125
0,64
2
12.
Partai Buruh
224.167
0,59
2
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
219.985
0,58
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
206.161
0,55
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
200.419
0,53
2
16.
Murba
199.588
0,53
2
17.
Baperki
178.887
0,47
1
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
178.481
0,47
1
19.
Grinda
154.792
0,41
1
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
149.287
0,40
1
21.
Persatuan Daya (PD)
146.054
0,39
1
22.
PIR Hazairin
114.644
0,30
1
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
85.131
0,22
1
24.
AKUI
81.454
0,21
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
77.919
0,21
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
72.523
0,19
1
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
64.514
0,17
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
0,14
1
29.
Lain-lain
1.022.433
2,71
-
Jumlah
37.785.299
100,00
257

Pemilihan umum memilih anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada  tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante yang dipilih yaitu sebanyak 520, namun di Irian Barat tidak ada pemilihan di karenakan hanya terdapat jatah 6 kursi. Jadi keseluruhan kursi yang dipilih hanya 514.

Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante memperlihatkan bahwa dukungan kepada PNI, NU dan PKI mengalami peningkatan. Perolehan suara yang didapat Masyumi mengalami penurunan 114.267 jika dibanding dengan suara yang didapat dalam pemilihan anggota DPR.

Dibawah ini adalah tabel mengenai Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi.
Tabel. 2. Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Anggota Konstituante.

No.
Partai/Nama Daftar
Suara
%
Kursi
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
9.070.218
23,97
119
2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.989.333
18,47
91
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.232.512
16,47
80
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.059.922
2,80
16
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
988.810
2,61
16
7.
Partai Katolik
748.591
1,99
10
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
695.932
1,84
10
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(IPKI)
544.803
1,44
8
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
465.359
1,23
7
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
220.652
0,58
3
12.
Partai Buruh
332.047
0,88
5
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
152.892
0,40
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
134.011
0,35
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
179.346
0,47
3
16.
Murba
248.633
0,66
4
17.
Baperki
160.456
0,42
2
18.
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
162.420
0,43
2
19.
Grinda
157.976
0,42
2
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
164.386
0,43
2
21.
Persatuan Daya (PD)
169.222
0,45
3
22.
PIR Hazairin
101.509
0,27
2
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
74.913
0,20
1
24.
AKUI
84.862
0,22
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
39.278
0,10
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
143.907
0,38
2
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
55.844
0,15
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
38.356
0,10
1
29.
Gerakan Pilihan Sunda
35.035
0,09
1
30.
Partai Tani Indonesia
30.060
0,08
1
31.
Radja Keprabonan
33.660
0,09
1
32.
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
39.874
0,11

33.
PIR NTB
33.823
0,09
1
34.
L.M.Idrus Effendi
31.988
0,08
1

lain-lain
426.856
1,13

Jumlah
37.837.105

514

Pemilihan umum pertama di indonesia (Pemilu 1955) mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pujian tersebut datang karena Pemilu 1955 mampu diselenggarakan secara aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis.

Kesadaran berkompetisi secara sehat tercipta di Pemilu 1955. Hal tersebut dapat kita lihat misal, meskipun yang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah seorang perdana menteri dan menteri yang aktif menjabat, mereka tidak menggunakan kekuatan jabatannya untuk menggiring pemilih demi keuntungan partai.

Pejabat negara tidak dianggap sebagai kompetitor yang ditakuti, karena mereka tidak menggunakan segala cara dalam mengikuti pemilihan umum.

Era Periode Demokrasi Terpimpin.

Format politik telah berubah dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Presiden memiliki keputusan untuk membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945 sserta diperkuat oleh keinginan membubarkan partai yang ada. Dekrit 5 juli itu mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia.

Keotoriteran pemerintah semakin nyata terasa ketika pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif telah menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan pedoman dekritnya (Dekrit 5 Juli 1959) membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Mengangkat anggota MPR dan DPR tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mengapa tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah kekuatan presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR atau sejajar dengan presiden.

Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS dalam Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G 30 S. Pada era Demokrasi Terpimpin tidak pernah terselenggara pemilu. Justru pada tahun 1963, anggota MPRS menetapkan Soekarno (orang yang mengangkat anggota MPRS), sebagai presiden seumur hidup. Apa yang dikehendaki Presiden saat itu merupakan kekuasaan otoriter yang mengabaikan aspirasi rakyat melalui pemilihan yang berkala.

Kesuksesan Pemilu 1955 tidak berlanjut ke dalam pemilu-pemilu berikutnya. Kesuksesan Pemilu 1955 hanya menjadi catatan emas sejarah. Pelaksanan Pemilu pertama di tahun 1955 tidak berlanjut dengan Pemilu kedua lima tahun berikutnya, walaupun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.

Sejarah Pemilihan Umum 1971.

Terjadi perpindahan kekusaan di Indonesia, ketika Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Presiden sebelumnya yaitu Soekarno. Pengangkatan Soeharto menjadi pejabat presiden berlangsung dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Soeharto juga tidak segera melaksanakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan, walaupun ia telah menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia.

Soeharto merubah waktu pelaksaan pemilu yang seharusnya tahun 1968 menjadi tahun 1971. Perubahan waktu pelaksaan yang dilakukan Soeharto, tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang menyatakan bahwa Pemilu agar bisa diselenggarakan dalam tahun 1968. Pengubahan tersebut dilalukan pada Sidang Istimewa MPRS 1967.

Soeharto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR peninggalan Presiden Soekarno, namun Soeharto membersihkan lembaga negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde pemerintah sebelumnya.

Pemilu kedua di Indonesia baru bisa diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 1971. Atau dengan kata lain Pemilu kedua di Indonesia baru dilaksanakan sesudah 4 tahun Soeharto menjabat Presiden. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.

Undang-Undang yang diadakan adalah UU tentang Pemilu dan susunan serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR merampungkan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU tentang pemilu membutuhkan waktu hampir tiga tahun.

Perbedaan yang mencolok antara Pemilu 1955 dengan Pemilu 1971 adalah para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.

Meskipun terdapat keharusan untuk bersikap netral dalam Pemilu 1971, namun pada kenyataan di lapangan, para pejabat pemerintah masih memihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Sebenanrnya pemerintah telah merekayasa ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus memberikan aspirasi suara kepada salah satu peserta Pemilu yaitu Golkar.

Dalam pembagian kursi,  metode pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971 menggunakan Undang-Undang No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap dapil. Metode tersebut mampu menjadi mekanisme tidak langsung guna mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibanding dengan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem ini yaitu  lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang secara sia-sia.

Terdapat tiga tahap dalam pembagian jatah kursi pada Pemilihan Umum 1971. Adapun tahapan pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut.

Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan.
Kedua, Jika ada partai yang melakukan stembus accord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient.

Pada tahap berikutnya jikalau masih ada kursi yang tersisa, maka masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara paling besar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara paling besar.

Apa itu Stembus Accord ? Stembus Accord adalah penggabungan suara partai-partai kecil (yang suaranya tidak memadai untuk mendapatkan kursi) sehingga mereka secara bersama dapat mendapatkan 1 kursi.

Dampak metode pembagian kursi dalam Pemilu 1971 adalah  menyebabkan hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai tidak selaras. Contoh paling real adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya mendapat kursi lebih sedikit dibanding dengan Parmusi. Agar lebih jelas lihat tabel berikut ini.

No.
Partai
Suara
%
Kursi
1.
Golkar
34.348.673
62,82
236
2.
NU
10.213.650
18,68
58
3.
Parmusi
2.930.746
5,36
24
4.
PNI
3.793.266
6,93
20
5.
PSII
1.308.237
2,39
10
6.
Parkindo
733.359
1,34
7
7.
Katolik
603.740
1,10
3
8.
Perti
381.309
0,69
2
9.
IPKI
338.403
0,61
-
10.
Murba
48.126
0,08
-
Jumlah
54.669.509
100,00
360

Dalam sistem pembagian kursi yang telah diterapkan dalam pemilu 1971, memunculkan fakta bahwa Partai Murba tidak mendapat jatah kursi, karena pada pembagian kursi atas dasar sisa paling besar pun perolehan suara partai Murba tidak cukup. Hal itu disebabkan karena peringkat paling bawah sisa suara paling besar adalah 65.666. PNI dapat kursi lebih banyak daripada Parmusi, karena perolehan suaranya secara nasional di atas Parmusi.

Gambar pemilu di indonesia,Sejarah pemilu di indonesia, bagaimana sejarah pemilihan umum di indonesia?. Kronologi sejarah pemilu di indonesia diwarnai berbagai hal,sejarah pemilu dari masa ke masa Pemilu 1955,1971, 1977,1982,1987,1992,1999. sejarah pemilu di indonesia dari tahun 1955 sampai tahun 1999. Sejarah pemilu di indonesia, bagaimana sejarah pemilihan umum di indonesia?. Kronologi sejarah pemilu di indonesia diwarnai berbagai hal, sejarah pemilu dari masa ke masa Pemilu 1955,1971, 1977,1982,1987,1992,1999. sejarah pemilu di indonesia dari tahun 1955 sampai tahun 1999.

Sejarah Pemilihan Umum 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Pemilu secara berkala dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga terselenggara 6 tahun sesudah Pemilu 1971, yakni tahun 1977. Setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal, maka sejak saat itu pemilu secara teratur sudah mulai terlaksana di Republik Indonesia.

Terdapat perbedaan yang signifikan dengan Pemilihan Umum sebelumnya, yaitu bahwa sejak Pemilu 1977 peserta pemilihan umum jauh lebih sedikit ( Dua partai politik dan satu Golongan Karya). Hal tersebut terjadi setelah pemerintah bersama dengan DPR berupaya merampingkan jumlah partai dengan membuat Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1975 perihal Parpol dan Golongan Karya (Golkar).

Kedua partai  adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga (PDI,PPP dan Golkar).

Golkar selalu menjadi pemenang dalam setiap pemilu yang digelar, sedangkan PPP dan PDI hanya menjadi pelengkap atau sekedar menjadi penghias dalam pemilihan umum. Golkar sudah menjadi pemenang sejak Pemilu tahun 1971. Atas kemenangan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kuasa Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer.

Di bawah ini adalah  data mengenai hasil pemilu 1977 s/d 1997.

Hasil Pemilihan Umum 1977.

Pemilu 1977 diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Metode pembagian kursi masih menggunakan cara seperti pada Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dalam pemilihan umum 1977  terdapat suara yang sah 63.998.344 suara atau 90,93 % dari 70.378.750 pemilih. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 %. Namun perolehan kursi merosot menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi jika dibanding dengan Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977 suara PPP meningkat di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mampu mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 %, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971.

Kenaikan suara PPP terjadi di basis-basis eks Masyumi, karena tampilnya tokoh utama Masyumi mendukung PPP.  Meskipun demikian kenaikan suara PPP di basis Masyumi diikuti juga dengan penurunan hasil suara dan kursi di basis Nahdatul Ulama, sehingga peningkatan suara secara nasional tidak terlalu besar.

PPP berhasil meningkatkan perolehan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi yang didapat PPP hanya 5 Kursi.

Perolehan kursi yang didapat PDI juga merosot jika dibanding dengan gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa kita simak pada tabel di berikut.

No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1971)
Keterangan
1.
Golkar
39.750.096
62,11
232
62,80
- 0,69
2.
PPP
18.743.491
29,29
99
27,12
+ 2,17
3.
PDI
5.504.757
8,60
29
10,08
- 1,48
Jumlah
63.998.344
100,00
360
100,00


Hasil Pemilihan Umum 1982.

Proses pemilihan umum tahun 1982  dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 1982 secara serentak. Perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tapi tidak berhasil meraih kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang mampu diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar mampu mendapat penambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI.  Golkar mendapat 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun metode pembagian kursi pada Pemilu 1982 tetap merujuk pada ketentuan pemilihan umum 1971.

No.
Partai
Suara DPR
%
Kursi
% (1977)
Keterangan
1.
Golkar
48.334.724
64,34
242
62,11
+ 2,23
2.
PPP
20.871.880
27,78
94
29,29
- 1,51
3.
PDI
5.919.702
7,88
24
8,60
- 0,72
Jumlah
75.126.306
100,00
364
100,00


Hasil Pemilihan Umum 1987.

Pemilu 1987 dilangsungkan pada tanggal 23 April 1987 secara serentak di Indonesia. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah adalah 85.869.816 atau 91,32 %. Metode pembagian kursi masih sama yaitu tetap merujuk pada Pemilu sebelumnya (pemilu 1971).

PPP mengalami kemrosotan yang signifikan dengan kehilangan 33 kursi dan hanya berhak mendapat  61 kursi. Kemerosotan hasil yang diperoleh  PPP disebabkan karena PPP tidak boleh menggunakan azas Islam, diubahnya lambang Ka'bah menjadi Bintang dan terjadi penggembosan oleh para tokoh unsur Nahdatul Ulama, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Golkar mendapat tambahan sebanyak 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.  Pada tahun 1986, PDI bisa dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Mendagri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara mencolok dari 30 kursi di pemilihan umum 1982 menjadi 40 kursi di pemilihan umum 1987.

No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1982)
Keterangan
1.
Golkar
62.783.680
73,16
299
68,34
+ 8,82
2.
PPP
13.701.428
15,97
61
27,78
- 11,81
3.
PDI
9.384.708
10,87
40
7,88
+ 2,99
Jumlah
85.869.816
100,00
400


Hasil Pemilihan Umum 1992.

Metode pembagian kursi pada Pemilu 1992 masih sama dengan pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Proses pemungutan suara pemilu 1992 dilakukan pada tanggal 9 Juni 1992. Hasil perolehan suara di pemilu 1992, membuat banyak orang kaget. Pasalnya suara yang didapat Partai Golkar merosot jika dibanding dengan Pemilu 1987.

Pada Pemilihan Umum 1987 Golkar mampu mendapatkan suara sebesar 73,16 %, pada Pemilu 1992 merosot menjadi 68,10 %, atau turun 5,06 %.  Penurunan secara nyata terlihat pada perolehan kursi, yaitu menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan kursi sebanyak 17 jika dibanding dengan pemilu sebelumnya.

PPP juga mengalami penurunan hasil suara. Walaupun masih mampu menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992, namun di luar pulau Jawa, suara dan kursi PPP mengalami penurunan.  PPP kehilangan banyak kursi di luar Jawa, walaupun ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

PPP tidak mempunyai wakil satupun di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang mampu menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, namun karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya PPP hanya bisa menaikkan 1 kursi secara nasional.

PDI adalah partai yang mampu meningkatkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah. Pada pemilihan umum 1992 , PDI mampu meningkatkan perolehan 16 kursi jika dibanding dengan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Dalam dua pemilihan umum, yaitu 1987 dan 1992, PDI mampu menambah 32 perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1987)
Keterangan
1.
Golkar
66.599.331
68,10
282
73,16
- 5,06
2.
PPP
16.624.647
17,01
62
15,97
+ 1,04
3.
PDI
14.565.556
14,89
56
10,87
+ 4.02
Jumlah
97.789.534
100,00
400
100,00

Hasil Pemilihan Umum 1997.

Metode pembagian kursi dalam Pemilu 1997 tetap sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara Pemilu 1997 dilangsungkan pada tanggal 29 Mei 1997.

Golkar kembali berhasil merebut suara simpatisannya. Perolehan suara yang didapat oleh Golkar adalah 74,51 %, atau meningkat 6,41%. Perolehan kursi naik menjadi 325 kursi, atau tambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.

PPP mendapat hasil positif dengan prosentasi perolehan naik  5,43 %. Jumlah kursi PPP mengalami peningkatan di Pemilu 1997.  PPP meraih 89 kursi atau naik 27 kursi jika dibanding dengan Pemilihan Umum di tahun 1992. Hasil positif yang diraih PPP dikarenakan partai ini mendapat dukungan besar di Pulau Jawa.

Perolehan kursi yang didapat Partai Demokrasi Indonesia mengalami kemerosotan sebesar 11,84 %, dan hanya mendapat 11 kursi. Dengan demikian PDI kehilangan 45 kursi di DPR jika dibanding dengan Pemilu 1992. Kemrosotan hasil pemilu yang dialami PDI di tahun 1992 disebabkan adanya konflik perpecahan di tubuh PDI antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Konflik tersebut terjadi setahun menjelang pemilu 1992.

No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1992)
Keterangan
1.
Golkar
84.187.907
74,51
325
68,10
+ 6,41
2.
PPP
25.340.028
22,43
89
17,00
+ 5,43
3.
PDI
3.463.225
3,06
11
14,90
- 11,84
Jumlah
112.991.150
100,00
425
100,00


Catatan: Banyak terjadi aksi protes di beberapa daerah. Aksi protes disebabkan adanya kecurangan terhadap pelaksanaan Pemilihan umum 1997. Misal, di Sampang  Madura, terjadi pembakaran puluhan kotak suara oleh  massa karena kecurangan penghitungan suara yang dinilai sudah keterlaluan. 

Sejarah Pemilihan Umum 1999.

Setelah Soeharto lengser dari jabatan Presiden, terjadi desakan terhadap pemerintahan Habibie untuk segera menyelenggarakan pemilihan umum yang baru. Dengan demikian hasil Pemilu 1997 akan segera diganti. Pemilihan Umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999, atau 13 bulan era kekuasaan Habibie.

Terdapat beberapa alasan diselenggarakannya Pemilu ketika itu yaitu untuk mendapatkan pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilihan Umum 1997 sudah tidak mendapatkan trust dari publik. Hal ini kemudian diteruskan dengan penyelengngaraa Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memotong masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sebelum menyelenggarakan percepatatan Pemilu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, Pemilu, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft Undang-Undang disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut dengan Tim Tujuh, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta) adalah sebagai ketua tim tujuh.

Setelah Rancangan Undang-Undang disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang, lalu Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang para anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.

Habibie menyelenggarakan pemiihan umum setelah 13 bulan sejak ia menjadi pemegang tampuk kekuasaan republik Indonesia. Meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Persiapan pemilihan umum 1999 tergolong persiapan yang singkat. Pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 dapat dilaksanakan sesuai jadwal, yaitu tanggal 7 Juni 1999. Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suara terpaksa diundur satu pekan. Pengunduran jadwal disebabkan oleh adanya pengiriman perlengkapan pemungutan suara yang lambat.

Terdapat permasalah pada tahap penghitungan suara dan pembagian kursi di Pemilu 1999. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik tidak bersedia menandatangani berita acara perhitungan suara dengan alasan bahwa Pemilu yang dilaksanakan belum jujur dan adil. Sikap penolakan para parpol ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU.

Dibawah ini adalah daftar 27 partai yang tidak menandatangani hasil perhitungan suara Pemilu 1999.

No.
Partai
1.
Partai Keadilan
2.
PNU
3.
PBI
4.
PDI
5.
Masyumi
6.
PNI Supeni
7.
Krisna
8.
Partai KAMI
9.
PKD
10.
PAY
11.
Partai MKGR
12.
PIB
13.
Partai SUNI
14.
PNBI
15.
PUDI
16.
PBN
17.
PKM
18.
PND
19
PADI
20.
PRD
21.
PPI
22.
PID
23.
Murba
24.
SPSI
25.
PUMI
26
PSP
27.
PARI

Dokumen rapat Komisi Pemilihan Umum diserahkan oleh pimpinan KPU kepada Presiden. Penyerahan dokumen dikarenakan terdapat penolakan terhadap hasil pemilihan umum yang telah berlangsung. [Sebagian besar partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut hal keberatan yang mereka ajukan]. Selanjutnya, Presiden menyerahkan hasil rapat dari KPU kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).Panwaslu memiliki tanggungjawab meneliti keberatan yang diajukan oleh para wakil partai.

Akhirnya, Panwaslu memberi rekomendasi bahwa pemilu sudah sah.  Setelah itu Presiden juga menyatakan bahwa hasil pemilu 1999 telah sah. Hasil akhir pemilu diumumkan kepada masyarakat pada tanggal 26 Juli 1999.

Panitia Pemilihan Indonesia atau PPI langsung melakukan pembagian kursi. Rapat pembagian kursi berjalan alot. Hasil pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accord. Hasil Kelompok Kerja PPI memperlihatkan bahwa partai Islam yang melakukan stembus accord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accord 8 partai Islam mendeklarasikan bahwa mereka memiliki hak 53 kursi dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI diserahkan kepada KPU.  Perbedaan pendapat yang ada diselesaikan dengan cara Pengambilan Suara Terbanyak di KPU. Pengambilan suara terbanyak dilakukan terhadap Dua Pilihan.
  • Pilihan pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan mempertimbangkan suara stembus accord, 
  • Pilihan kedua pembagian tanpa stembus accord
Hasil Voting:  12 suara mendukung Pilihan Pertama, sedangkan 43 suara mendukung Pilihan Kedua. Lebih dari 8 partai memilih untukwalk out. Berdasar hasil Voting tersebut, maka stembus accord sudah tidak dipertimbangkan dalam pembagian kursi.

Dengan pedoman kepada hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum, akhirnya PPI mampu melaksanakan pembagian kursi hasil pemilu di tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi memperlihatkan bahwa lima partai besar mampu meraih 417 kursi DPR atau 90,26 % dari 462 kursi keseluruhan.

Adapun partai yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. PDI-Perjuangan adalah parpol pemenang Pemilu, 35.689.073 suara atau 33,74 % dan 153 kursi. 
  2.  Golkar mendapat  23.741.758 suara / 22,44 %  dan 120 kursi, akan tetapi kehilangan 205 kursi jika dibanding dengan pemilihan umum 1997. 
  3. PKB memperoleh 13.336.982 suara atau 12,61 %, mendapat 51 kursi. 
  4. PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,71 %, mendapat 58 kursi. Kehilangan 31 kursi jika dibanding dengan Pemilihan Umum 1997.
  5.  PAN menda 7.528.956 suara atau 7,12 % dan 34 kursi.
Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi jika dibanding dengan Pemilu 1997.

Tabel di bawah ini adalah hasil perhitungan pembagian kursi.

No.
Nama Partai
Suara DPR
Kursi Tanpa SA
Kursi Dengan SA
1.
PDIP
35.689.073
153
154
2.
Golkar
23.741.749
120
120
3.
PPP
11.329.905
58
59
4.
PKB
13.336.982
51
51
5.
PAN
7.528.956
34
35
6.
PBB
2.049.708
13
13
7.
Partai Keadilan
1.436.565
7
6
8.
PKP
1.065.686
4
6
9.
PNU
679.179
5
3
10.
PDKB
550.846
5
3
11.
PBI
364.291
1
3
12.
PDI
345.720
2
2
13.
PP
655.052
1
1
14.
PDR
427.854
1
1
15.
PSII
375.920
1
1
16.
PNI Front Marhaenis
365.176
1
1
17.
PNI Massa Marhaen
345.629
1
1
18.
IPKI
328.654
1
1
19.
PKU
300.064
1
1
20.
Masyumi
456.718
1
-
21.
PKD
216.675
1
-
22.
PNI Supeni
377.137
-
-
23
Krisna
369.719
-
-
24.
Partai KAMI
289.489
-
-
25.
PUI
269.309
-
-
26.
PAY
213.979
-
-
27.
Partai Republik
328.564
-
-
28.
Partai MKGR
204.204
-
-
29.
PIB
192.712
-
-
30.
Partai SUNI
180.167
-
-
31.
PCD
168.087
-
-
32.
PSII 1905
152.820
-
-
33.
Masyumi Baru
152.589
-
-
34.
PNBI
149.136
-
-
35.
PUDI
140.980
-
-
36.
PBN
140.980
-
-
37.
PKM
104.385
-
-
38.
PND
96.984
-
-
39.
PADI
85.838
-
-
40.
PRD
78.730
-
-
41.
PPI
63.934
-
-
42.
PID
62.901
-
-
43.
Murba
62.006
-
-
44.
SPSI
61.105
-
-
45.
PUMI
49.839
-
-
46
PSP
49.807
-
-
47.
PARI
54.790
-
-
48.
PILAR
40.517
-
-
Jumlah
105.786.661
462
462

Ket: SA= Stembus Accord.

Catatan Seputar Pemilu 1999:
  1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 % dari suara sah.
  2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi, jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 % dari suara yang dinyatakan sah.
Metode pembagian kursi hasil Pemilu di tahun 1999 tetap menggunakan sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem proporsional tersebut menyatakan Partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang didapatnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasar the largest remainder.

Cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan peringkat perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih, bila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara paling besar atau paling banyak dari daerah pencalonan. Dengan demikian seorang calon, meski berada di urutan paling bawah dalam daftar calon, kalau partainya mendapatkan suara paling besar di daerahnya, maka dia adalah calon yang terpilih.  Metode penetapan  calon terpilih berdasar pada perolehan suara di Daerah Tingkat II adalah sama dengan cara yang dipakai dalam Pemilihan Umum 1971.

“Satu hal yang begitu menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 merupakan pemilu dengan jumlah peserta paling banyak. Banyaknya peserta yang ikut menjadi peserta pemilu disebabkan karena adanya kelonggaran untuk mendirikan partai politik. Jumlah Parpol peserta Pemilu tahun 1999 adalah 48 partai politik. Hal tersebut sudah jauh lebih sedikit jika dibanding dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yaitu 141 parpol.”

Sejarah penyelenggaran pemilu di Indonesia telah mencatat bahwa  setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemilihan umum lebih cepat setelah proses alih kekuasaan berlangsung. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan oleh pemerintahan pendahulu.

Demikian Sejarah Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Semoga kita semua dapat belajar dari peristiwa yang telah terjadi di penyelenggaraan pemilu. Kita berharap, semoga pemilu dimasa yang akan datang dapat terselenggara secara baik, jujur dan berkualitas.

Maju Terus Demokrasi Indonesia !!

[ Sumber data: *Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia ]